Friday, July 15, 2011||
Asmaradana
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.
Ia ucapkan perpisahan itu. Ia melihat peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.
Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
- Asmaradana, Goenawan Mohamad
Saya suka sekali dengan puisi yang ditulis Goenawan Mohamad ini. Sampai dulu saya tulis rapi di kertas tebal dan jadi pembatas buku. Sempat hilang, namun malam ini saya temukan di antara tumpukan buku-buku lama.
Asmaradana adalah sebuah tembang macapat Jawa yang menceritakan kisah antara Damarwulan dan kekasihnya, Anjasmara. Puisi ini menangkap fragmen pertemuan terakhir mereka, ketika Damarwulan berpamitan kepada Anjasmara, untuk berangkat berperang melawan seorang pengkhianat Majapahit.
Lewat remang dan kunang-kunang,
kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu.