Monday, October 08, 2012||
Perempuan masa itu
Sesenang-senangnya dan sebangga-bangganya jadi orang Jawa, saya bersyukur tidak lahir di zaman feodal dulu di mana perempuan hanya menjadi warga kelas dua. Juga pada masanya itu, pernikahan (dengan segala pelik poligaminya) bukan sesuatu yang dirayakan dengan sepenuh hati, malah dianggap sebagai pemberhenti semua mimpi.
--
Penggalan paragraf biografi Panggil Saja Aku Kartini:
(Kartini bercerita kepada Stella, dengan sudut pandang orang ketiga)
Tibalah masa baginya untuk mengucapkan selamat jalan bagi kehidupan bocah yang ceria: meminta diri pada bangku sekolah yang ia suka duduk di atasnya. Ia telah dianggap cukup tua untuk tinggal di rumah, dan harus kembali takluk pada adat kebiasaan negerinya, yang memerintahkan gadis-gadis muda tinggal di rumah, hidup dalam pengucilan yang keras dari dunia luar sedemikian lama, sampai tiba masanya seorang pria yang diciptakan Tuhan untuknya datang menuntutnya serta menyeretnya ke rumahnya.
Dia tahu benar, bahwa pintu sekolah yang memberi jalan pada banyak hal yang dicintainya, telah tertutup baginya. Perpisahan dari guru-gurunya tercinta yang bicara padanya begitu manis dan ramah sewaktu ia hendak pergi; dari kawan-kawan kecil, yang menjabat tangannya dengan mata berlinangan. Tapi semua ini belum berarti dibandingkan dengan dukacita karena harus mengakhiri pelajarannya.
Maka bermohonlah ia pada Ayahnya untuk dibolehkan dengan abang-abangnya pergi ke Semarang belajar di HBS, ia berjanji akan belajar sebaik-baiknya. ... Dengan suara lembut tapi menentukan terdengar jawaban dari mulut Ayahnya: "Tidak boleh!"
Sekali waktu gurunya bertanya kepadanya, apakah ia tidak hendak ikut pergi dengan Letsy, putrinya, ke Holland untuk meneruskan pelajaran. Dengan bernafsu, dan dengan mata bersinar-sinar ia berbisik padanya, "Bagaimana, maukah kau?"
"Jangan tanyakan padaku aku mau atau tidak, tanyalah boleh atau tidak!"
--
Penggalan paragraf roman Gadis Pantai:
Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu: kini ia bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris.
Ia tak tahu apa yang ada di hadapannya. Ia hanya tahu: ia kehilangan seluruh hidupnya. Kadang dalam ketakutan ia bertanya: mengapa tak boleh tinggal di mana ia suka, di antara orang-orang tersayang dan tercinta, di bumi dengan pantai dan ombaknya yang amis.
"Sst. Jangan nangis. Mulai hari ini kau tinggal di gedung besar, nak. Tidak lagi di gubuk. Kau tak lagi buang air di pantai. Kau tak lagi menjahit layar dan jala, tapi sutera, nak. Sst, ssst. Jangan nangis." Empatbelas tahun umurnya. Dan tak pernah ia merasa keberatan buang air di pantai, terkecuali di waktu bulan purnama—ia takut ular di waktu seperti itu.
"Sst. Jangan nangis, nak. Hari ini kau jadi istri orang kaya." Ia terisak-isak, tersedan, akhirnya melolong. Ia tak pernah merasa miskin dalam empatbelas tahun ini.
--
Maka apa itu namanya, kalau perempuan di zaman sekarang terutama yang hidup di kota dengan segala kebebasannya, namun malah bermalas-malasan dan mengeluhkan yang itu-itu saja?
(tunjuk hidung sendiri)