Friday, February 03, 2012|| Artikel 2

Menuju ASEAN OPEN SKIES: Kerjasama Lintas Negara

Transportasi udara di Asia Tenggara telah mengalami banyak peningkatan dalam beberapa dekade terakhir. Beberapa maskapai baru berdiri, menawarkan lebih banyak pilihan jasa penerbangan kepada calon penumpang.

Maskapai baru didominasi oleh jenis maskapai berbiaya rendah (low-cost airlines) yang menawarkan penerbangan dengan harga lebih murah. Menurut Center of Asia Pacific Aviation, pada tahun 2001, kapasitas yang ditawarkan maskapai berbiaya rendah di rute intra Asia Tenggara ini sekitar 3.3%. Pada tahun 2011, meningkat menjadi 32.4%.

Jumlah trafik penerbangan di wilayah ini diperhitungkan akan terus meningkat rata-rata 7.4% per tahun sampai tahun 2030 berdasarkan perhitungan perusahaan manufaktur pesawat Boeing Co. Tingkat pertumbuhan trafik ini merupakan pertumbuhan trafik intra-regional nomor tiga tertinggi setelah intra Asia Selatan (9.2%) dan intra China (7.5%).

Pertumbuhan dipicu sebagian besar oleh rencana liberalisasi transportasi udara di Asia Tenggara. Liberalisasi dilakukan secara bertahap dan direncanakan pada tahun 2015 ASEAN Open Skies telah berlangsung efektif. ASEAN Open Skies membolehkan penerbangan bebas lintas negara, membuka kesempatan bagi maskapai untuk meningkatkan jumlah rute dan frekuensi penerbangan.

Kerjasama lintas negara

Untuk menawarkan jasa penerbangan lintas negara, suatu maskapai harus menaati perjanjian bilateral atau multilateral antar negara yang ingin dilalui. Melalui perjanjian tersebut ditentukan jenis rute, berikut dengan jumlah frekuensi penerbangan dan jenis pesawat.

Rencana liberalisasi ASEAN Open Skies menawarkan kebebasan terbang multilateral di dalam wilayah Asia Tenggara hanya sampai pada kebebasan penerbangan ke-lima (fifth freedom traffic right), yang artinya maskapai dari setiap negara dibolehkan terbang dari negara asal ke negara kedua lalu melanjutkan penerbangan ke negara ketiga. Contoh, maskapai Indonesia boleh terbang dari Jakarta menuju Singapura, kemudian melanjutkan penerbangan ke Bangkok, dan akhirnya kembali lagi ke Jakarta.

Ini artinya, walau dalam lingkup ASEAN Open Skies, tetap ada keterbatasan bagi maskapai dalam menawarkan rute penerbangan. Maskapai dari Indonesia tidak bisa melayani rute Singapura-Bangkok secara langsung tanpa berawal dari salah satu bandara internasional di Indonesia. Juga, maskapai dari satu negara tidak diperbolehkan melayani rute domestik di negara lain.

Oleh karena itu, maskapai yang ingin mengembangkan rute lebih jauh, harus melalui kerjasama dengan maskapai dari negara lain. Praktik kerjasama bisa dilakukan dalam bentuk kerjasama operasional, seperti code sharing, atau dalam bentuk kerjasama strategis, seperti pembentukan usaha patungan (joint venture).

Praktik joint venture telah dilakukan oleh AirAsia sejak tahun 2003. Untuk bisa mengembangkan jaringan ke Indonesia dan Thailand, maskapai berbiaya rendah asal Malaysia ini mendirikan maskapai baru sebagai kongsi antara perusahaannya dan perusahaan domestik di Indonesia dan Thailand. Lahirlah AirAsia Indonesia dan AirAsia Thailand. Di akhir tahun 2010, dibentuk pula AirAsia Philippines.

Praktik ini juga dilakukan oleh maskapai berbiaya rendah asal Australia, Jetstar. Bekerjasama dengan perusahaan domestik Singapura, dibentuklah Jetstar Asia di tahun 2004. Tahun 2008, Jetstar bekerjasama dengan perusahaan domestik Vietnam, membentuk Jetstar Pacific.

Metode kerjasama joint venture ini diberi istilah "branchizing", terbukti ampuh bagi maskapai untuk ‘mengakali’ keterbatasan regulasi di Asia Tenggara. Walaupun mayoritas saham tetap harus dimiliki oleh perusahaan domestik, namun dengan metode ini setiap maskapai memiliki kesempatan untuk memperluas jaringan di negara lain dengan lebih leluasa.

Tidak selalu mudah

Namun, ada beberapa kasus joint venture yang tidak berlangsung lancar, di antaranya, kasus VietJet Air dan Thai Tiger.

VietJet awalnya merupakan rencana kerjasama antara AirAsia dan perusahaan domestik di Vietnam. Perselisihan dimulai dari penentuan nama. Pemerintah Vietnam menolak pendirian maskapai baru dengan menggunakan nama AirAsia, beranggapan maskapai tersebut akan tetap bisa sukses tanpa nama besar AirAsia. Setelah proses yang memakan waktu bertahun-tahun sejak 2007, maskapai akhirnya dinamai VietJet Air dan memulai jasa penerbangannya di bulan Desember 2011.

Sebelumnya, pemerintah Vietnam juga sempat menyarankan Jetstar Pacific untuk menggunakan nama yang lebih ‘lokal’.

Kasus Thai Tiger berakhir lebih suram. Thai Tiger merupakan rencana kerjasama antara Thai Airways dan Tiger Airlines, maskapai berbiaya rendah asal Singapura. Rencana Thai Tiger telah diluncurkan sejak bulan Agustus 2010, kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan perjanjian kerjasama pada bulan Februari 2011. Namun, perjanjian tersebut tidak kunjung memperoleh persetujuan dari pemerintah Thailand. Pemerintah mempertanyakan dampak adanya ‘maskapai luar negeri’ kedua di Thailand setelah AirAsia. Efektif tanggal 7 Desember 2011, pihak Tiger Airways memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana pendirian maskapai Thai Tiger.

Perlunya penentuan sikap

Pemerintah di Asia Tenggara di satu sisi ingin mendukung rencana liberalisasi, meningkatkan trafik penerbangan yang akan berdampak positif bagi ekonomi negara. Di sisi lain, pemerintah masih menjaga ketat regulasi yang menahan berlangsungnya kompetisi bebas antar negara.

Rencana liberalisasi ASEAN Open Skies terus berlangsung, walau perlahan. Ada resiko dimana persaingan bebas nantinya akan memberi dampak buruk bagi maskapai lokal, dan pemerintah mungkin mengambil langkah mundur terhadap liberalisasi.

JetStar CEO, Bruce Buchanan, berkomentar, “Ada kesempatan yang besar di Asia Tenggara, namun jalan menuju ke sana masih panjang. Pasar Asia Tenggara dikontrol dengan ketat. Bukan pasar yang mudah untuk sukses, butuh waktu bertahun-tahun untuk berkembang menjadi lebih baik.” []

Artikel dimuat di Tabloid Aviasi Edisi 44 Tahun V Februari 2012

--
Akhir-akhir ini saya sering memperoleh pertanyaan yang bikin gugup. Pertanyaan-pertanyaan seperti, "Bagaimana perkembangan studi? Hasilnya apa?" Ada kalanya bisa menjawab lancar, namun biasanya cuma bisa senyum-senyum karena semua yang terkait studi sedang membentuk benang kusut.

Ada juga pertanyaan yang bikin ketawa, "Kalau mau pergi dari X ke Y bulan depan yang murah pakai pesawat apa? Ada tiket promo?" Lah, saya dikira agen travel... 

Hmm, mungkin buka usaha agen perjalanan ini bisa jadi salah satu opsi pekerjaan di masa mendatang. Sayang sekali nama Batari Tour and Travel sudah ada yang pakai.

4:21 PM |