Sunday, October 16, 2011|| Artikel 1

"Low-Cost Terminal", Terminal Tepat Sasaran

Tersedianya layanan dari maskapai penerbangan berbiaya rendah (low-cost airlines) memudahkan kita untuk merealisasikan rencana perjalanan lintas kota dan negara. Maskapai ini menerapkan beberapa strategi yang memungkinkan untuk menjual tiket dengan harga sangat murah kepada calon penumpang.

(Sekarang kita bisa melakukan perjalanan pulang pergi hanya dengan Rp. 500.000 untuk rute Jakarta-Bangkok dengan AirAsia. Di Eropa, tiket pulang pergi Barcelona-London dengan easyJet hanya berkisar €200. Lalu di Amerika, kita bisa terbang Seattle-San Francisco dengan Southwest Airlines dengan membayar $90 saja.)

Strategi yang paling terlihat jelas adalah tidak adanya layanan gratis dalam pesawat, seperti makanan ataupun surat kabar. Strategi lainnya bisa berupa utilisasi satu jenis pesawat (umumnya Boeing seri 737 atau Airbus 320) sehingga biaya perawatan bisa diminimalisir; maskapai juga memiliki jadwal terbang yang padat dan mengurangi waktu tidak produktif di bandara.

Menurut Center of Asia Pacific Aviation, pada tahun 2001, kapasitas yang ditawarkan maskapai berbiaya rendah ini sekitar 8% dari total trafik dunia. Tahun 2011, meningkat menjadi 24.4%.

Meningkatnya jumlah layanan maskapai berbiaya rendah mendorong bandara untuk melakukan ‘penyesuaian’. Beberapa bandara di dunia telah menyediakan terminal khusus untuk melayani maskapai jenis ini. Terminal ini memiliki terminologi yang seirama: terminal berbiaya rendah (“low-cost terminal”).

Terminal didesain sesuai kebutuhan, yaitu menitikberatkan pada efisiensi, bukan pada keindahan atau kemewahan. Terminal dibangun dengan investasi minimum, namun diharapkan bisa menunjang proses keberangkatan dan kedatangan penumpang dengan lebih efisien dari segi biaya dan waktu. Di antaranya:
Terkadang maskapai juga menuntut operator bandara untuk memberikan tarif yang lebih murah. Tahun 2001-2004, Ryanair memperoleh diskon 50% untuk landing charges di bandara Charleroi, London. Alasannya, maskapai ini membantu meningkatkan trafik bagi bandara tersebut.

Terminal ini akan mengurangi fasilitas yang tidak esensial. Tidak ada taman zen seperti di bandara Dubai, ataupun kolam renang seperti di bandara Changi. Karena kesederhanaannya ini, seorang arsitek berkomentar (dan dikutip oleh Richard de Neuvfille, pakar bandara di MIT), “low-cost terminal has the charm of a high school gymnasium”.

Hingga saat ini ada 12 terminal berbiaya rendah di dunia, tujuh di Eropa, tiga di Asia, dan dua di Amerika:
Kebanyakan terminal ini merupakan terminal penumpang maupun barang yang didesain dan dibangun ulang. (Bahkan, Budget terminal di bandara Zhengzhou hanya berasal dari international hall terminal lama yang direnovasi.)

Bagaimana jika dilihat dari sisi fasilitas restoran? Apakah juga bersifat ‘berbiaya rendah’? Tidak juga. Beberapa terminal memiliki pilihan makanan dan minuman yang cukup bervariasi dan memuaskan. Alasannya, penumpang tidak memperoleh makanan gratis di pesawat, maka penumpang cenderung untuk menggunakan fasilitas makan dan minum di terminal.

Variasi restoran tersedia mulai dari restoran cepat saji, kaunter “grab-and-go“, juga restoran bertempat duduk. Terminal 5 JFK bahkan selangkah lebih maju dengan menyediakan lebih dari 200 monitor sentuh di seluruh bagian terminal di mana penumpang bisa memesan makanan minuman dan membayarnya dengan kartu kredit.

Menggunakan terminal ini sebagai titik keberangkatan atau kedatangan tidak akan mengurangi nilai perjalanan kita. Walau kemewahan merupakan satu nilai tambah dari bandara (yang jelas tidak didapat di terminal ini), namun yang terpenting adalah mendapati fasilitas yang esensial. Tepat sasaran. []

Artikel dimuat di Ransel Kecil.

--
Sudah dua tahun saya melakukan riset tentang maskapai dan bandara berbiaya rendah. Baru kali ini dapat kesempatan untuk menulis artikel populer tentang riset saya. Ternyata menulis ulang tulisan akademis menjadi tulisan populer itu susah, namun menyenangkan. Ini sebuah kesempatan untuk berbagi cerita mengenai sesuatu yang sudah saya kerjakan dengan senang dan sepenuh hati.

Menulis karena harus, menulis karena suka, dua-duanya sama-sama menghasilkan tulisan. Namun di pilihan terakhir, rasa puasnya jauuuh lebih tinggi.

5:32 AM |