Wednesday, August 13, 2014||
Bandara dan hal-hal yang belum selesai
AGUSTUS 2013 lalu, media
memberitakan perselisihan antara maskapai Garuda Indonesia dan operator bandara
Angkasa Pura II. Perselisihan ini disebabkan karena penundaan peluncuran rute langsung
antara Jakarta (CGK) dan London (LGW) yang sudah dijadwalkan oleh Garuda.
Penerbangan berdurasi 14 jam ini
rencananya akan menjadi rute langsung komersial pertama yang menghubungkan Indonesia dan Inggris. Rute akan dilayani oleh pesawat baru B777-300ER.
Penundaan pembukaan rute disebabkan tidak
mendukungnya infrastruktur bandara CGK. Pasalnya, landasan pacu di CGK tidak
cukup kuat untuk menahan beban pesawat jumbo seperti B777 jika berkapasitas
penuh saat lepas landas.
Kapasitas penuh B777-300ER
berarti mengangkut bahan bakar, 314 penumpang, serta kargo 11 ton, dengan berat
total sekitar 351 ton. Landasan pacu CGK hanya bisa menoleransi berat lepas
landas maksimum 329.37 ton.
Alhasil setiap penerbangan pada
rute ini jumlah penumpang harus dikurangi sebanyak 39 orang.
Selaku pengelola CGK,
Angkasa Pura II menolak disalahkan. “Jangan rumah tipe 21, tapi beli furniture
gede.” ujar Tri Sunoko. Menurutnya,
pembelian pesawat oleh maskapai harus disesuaikan dengan kemampuan bandara.
Menteri BUMN Dahlan Iskan kemudian
menyoroti kurangnya koordinasi antara dua perusahaan tersebut.
--
Airline-airport
relationship: Marriage or one-night stand?
Hubungan bisnis maskapai dan bandara bisa dibagi menjadi dua
kategori ekstrim, menurut Nielsen CEO bandara Oslo: one-night stand atau marriage.
Menarik jika dibahas dari sisi ini. Hubungan one-night stand berdasar pada kebutuhan
singkat sesekali kapan suka, sedangkan marriage
berdasar pada komitmen jangka panjang senasib sepenanggungan.
Setiap maskapai dan bandara di suatu negara bisa memiliki karakter
hubungan bisnis yang berbeda. Maskapai berbiaya rendah, Ryanair dan Wizz Air di
Eropa misalnya, cenderung memiliki hubungan one-night
stand dengan bandara sekunder — berpindah
dari satu bandara ke bandara lain sesuai kebutuhan.
Februari 2013 lalu, Wizz Air pindah basis rute dari bandara
sekunder Glasgow Prestwick (PIK) ke Glasgow International (GLA) di Skotlandia.
Ini sesuai dengan strategi baru Wizz Air yang menargetkan lebih banyak rute
internasional.
Sedangkan maskapai seperti Finnair dan bandara Helsinki,
juga Singapore Airlines dan Changi, memiliki hubungan jangka panjang di mana mereka
bekerja sama, baik dalam pengembangan rute maupun penyediaan fasilitas dan
layanan untuk penumpang.
Merujuk pada kasus hubungan Angkasa Pura II dan Garuda
Indonesia tadi, Dahlan benar bahwa mereka kurang berkoordinasi. Garuda tidak melaporkan rencana pembelian
pesawat dan pengembangan rute terbangnya. Angkasa Pura II tidak mengabari bahwa
landasan pacunya memiliki kekerasan yang terbatas.
Ini sekilas seperti hubungan pernikahan yang tidak saling
cinta.
--
Who needs whom more?
Tidak seperti di Eropa, kota di Indonesia tidak mengenal
konsep bandara primer dan sekunder. Satu kota umumnya hanya memiliki satu
bandara.
Kondisi ini membuat maskapai tidak punya opsi untuk memilih
bandara. Tidak bisa strategi Wizz Air di Glasgow, Skotlandia tadi diterapkan di
Indonesia.
Ada perkecualian seperti bandara Jogja, Solo, dan Semarang
yang terletak berdekatan. Dilihat dari area tangkapan, satu bandara bisa
dijadikan alternatif bandara lainnya. Namun, karena ketiganya berada di bawah
manajemen perusahaan yang sama, yaitu Angkasa Pura I, perlakuan satu bandara
dengan lainnya tidak akan berbeda. Tiga bandara tersebut tidak bersaing satu sama lain dalam menarik penumpang.
Kondisi bandara yang berjauhan dan manajemen satu payung
tanpa persaingan ini kemudian mendorong pengelola bandara di Indonesia menjadi pasif.
Apapun yang mereka lakukan (atau tidak mereka lakukan), maskapai tetap datang
membawa penumpang. Pengelola bandara secara otomatis memiliki daya tawar yang
lebih besar terhadap maskapai.
Pernyataan metafora Tri Sunoko mengenai rumah tipe 21,
mendukung asumsi ini. Sedangkan keberhasilan hubungan bisnis pada dasarnya sangat ditentukan
oleh keseimbangan daya tawar. Hubungan yang baik memiliki daya tawar yang seimbang
antar pihak. Saling membutuhkan.
Seperti layaknya romance,
hubungan bisnis akan susah langgeng ketika satu pihak merasa lebih punya kuasa.
--
Time to reflect
Bandar udara biasanya dimiliki oleh negara. Biaya investasi dan
operasional infrastruktur yang tinggi membuat industri ini dianggap
sebagai natural monopoli dan oleh karenanya wajar diatur oleh negara.
Di Indonesia juga begitu. Ada 200 sekian bandara di
Indonesia. Dua puluh enam di antaranya dikelola oleh badan usaha milik negara. Angkasa Pura I mengelola 13 bandara besar di timur Indonesia, sedangkan Angkasa
Pura II mengelola 13 bandara besar di barat. Sisanya diatur langsung oleh UPT Direktorat
Jendral Perhubungan Udara atau pemerintah daerah.
Namun semakin berkembangnya industri maskapai penerbangan di
dunia — terutama dengan liberalisasi dan adanya maskapai budget — turut membuat
industri bandara semakin kompetitif. Banyak bandara di dunia kemudian diprivatisasi. Biaya investasi bisa ditanggung oleh pihak swasta dan tidak lagi oleh
pemerintah semata.
Direktorat Jendral Perhubungan Udara menyadari adanya
kebutuhan operator mandiri untuk mengurusi beberapa bandara baru di Indonesia.
Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 2012 dikeluarkan. PP tersebut mengatur pembangunan dan manajemen bandar
udara, termasuk oleh unit penyelenggara swasta.
Diperbolehkannya pihak swasta untuk turut mengelola bandara, bisa dilihat sebagai kebijakan yang akan menyeimbangkan daya tawar
antara maskapai dan operator bandara di Indonesia.
Dengan asumsi operator swasta akan bekerja baik
(karena tuntutan pengembalian investasi), ini akan memberi standar baru di
Indonesia — standar bagaimana seharusnya sebuah bandara itu dioperasikan.
Akan lebih baik apabila bandara baru bisa bersaing
langsung dengan bandara BUMN, sehingga maskapai dan penumpang bisa punya pilihan bandara mana yang akan digunakan.
Saat itu mungkin bisa dimengerti oleh Tri Sunoko dan
kawan-kawan, bahwa dalam bisnis ini, bandara juga membutuhkan maskapai, sama halnya
dengan maskapai yang membutuhkan bandara. []
---
Privatisasi tidak otomatis menjamin sebuah industri berjalan dengan lebih baik. Hanya
saja, bandara di Indonesia seharusnya bisa diatur dengan lebih niat dan profesional. Sesuatu yang sepertinya sulit didapat dari manajemen yang sekarang — yang baru-baru ini berencana untuk memusatkan proses imigrasi di bandara CGK
hanya di satu terminal dengan
alasan efisiensi.
Efisiensi yang kemudian mengharuskan sebagian penumpang internasional untuk datang empat jam lebih awal dari waktu keberangkatan.
Empat jam.