Tuesday, January 13, 2015|| Regulasi tarif dan dampaknya bagi maskapai

A re-post of my article in Rappler Indonesia, 19 January 2015 on the impact of newly-imposed tariff regulation on airlines and passengers; available online here.

Kementrian Perhubungan menaikkan batas bawah tarif tiket penerbangan Desember lalu. Kebijakan ini diklaim perlu untuk menjaga tingkat keselamatan penerbangan.

Menteri Perhubungan Ignasius Jonan berpendapat bahwa maskapai yang menjual tiket terlalu murah berpotensi mengabaikan aspek keselamatan penerbangan.

KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) mengkritisi kebijakan tersebut sejak November. Ketua KPPU Nawir Messi mengatakan bahwa menyerahkan mekanisme pengawasan keselamatan pada mekanisme tarif itu naif dan tidak tepat.

Tarif bukan indikator dari tingkat keamanan dan keselamatan di industri penerbangan. Setiap maskapai — baik yang menawarkan tiket murah maupun premium — harus menaati standar operasional dan keselamatan yang sama.

Di luar isu keselamatan, apa sebenarnya efek dari penerapan batas bawah ini untuk maskapai?


--
Sebelum menerapkan batas bawah, Kementrian Perhubungan sudah lebih dahulu memberlakukan batas atas tarif untuk tiket penerbangan domestik kelas ekonomi. Batas atas tarif ini diterapkan berbeda berdasarkan jenis maskapai.

Menurut UU No. 1 tahun 2009, maskapai komersial berjadwal di Indonesia dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan standar pelayanan kepada penumpang: full-service, medium, no-frills/low-cost

Maskapai full-service atau premium adalah maskapai yang menawarkan standar maksimum dalam pelayanannya. Maskapai medium menawarkan standar pelayanan menengah, sedangkan low-cost atau maskapai berbiaya rendah menawarkan standar minimum. 

Untuk bisa dikategorikan premium, maskapai harus memberikan fasilitas bagasi 20 kg, juga layanan makanan dan minuman kepada penumpang. 

Garuda Indonesia dan Batik Air dikategorikan sebagai maskapai premium. Aviastar, Kalstar, Sriwijaya, Transnusa, Trigana, Xpress Air, dan Nam Air termasuk kategori menengah. Citilink, Indonesia AirAsia, Lion Air, Wings Air, dan Susi Air termasuk maskapai berbiaya rendah.

Batas atas tarif untuk maskapai  premium, menengah, dan berbiaya rendah ini masing-masing adalah 100%, 90%, dan 85% dari tarif yang tercantum dalam peraturan menteri.

Kemudian tanggal 30 September 2014, Kementrian Perhubungan memberlakukan pula batas bawah untuk tiket penerbangan. Menteri saat itu masih E. E. Mangindaan. Melalui Peraturan Menteri No. 51, batas bawah ditetapkan 50% dari batas atas yang sudah ditentukan sebelumnya. 

Disebutkan dalam peraturan tersebut, bila maskapai ingin menawarkan tarif lebih rendah dari 50% batas atas, wajib memperoleh persetujuan Dirjen Perhubungan Udara. 

Tanggal 19 November 2014, persentase batas bawah ini direvisi menjadi 30% oleh Jonan. 

Tanggal 30 Desember 2014, selang dua hari dari setelah kecelakaan QZ8501, batas bawah direvisi lagi menjadi 40%. Baru di sini persoalan batas tarif memperoleh perhatian banyak orang.

Berdasarkan regulasi ini, ruang gerak tarif maskapai akan selalu terpatok pada batas atas yang ditentukan di peraturan menteri.

Bagaimana batas atas dihitung? Berdasarkan uraian Pasal 14 PM No. 51, batas atas dihitung dari biaya operasional penerbangan ditambah dengan margin keuntungan 10% dinyatakan per penumpang per unit jarak.

Rute dengan jarak 751 sampai 900 km, misalnya, memiliki batas atas Rp. 1,706 per penumpang-km. 

Maka, rute JakartaSurabaya (778 km), salah satu rute tersibuk di Indonesia, akan memiliki rentang tarif tiket Rp. 530,800Rp. 1,327,000 untuk penerbangan premium dan Rp. 451,180Rp. 1,127,950 untuk penerbangan berbiaya rendah. 


-- 
KPPU dan YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) berpendapat penerapan batas bawah ini merugikan konsumen dan maskapai tertentu. 

Melihat unit biaya dan tarif yang ditawarkan masing-masing perusahaan, maskapai berbiaya rendah berpotensi terkena dampak lebih besar daripada maskapai premium. 

Unit biaya dua jenis maskapai ini jauh berbeda. Unit biaya Indonesia AirAsia contohnya, berdasarkan laporan keuangan 2013, adalah Rp. 490 per penumpang-km, sedangkan Garuda Indonesia Rp. 946 per penumpang-km.

Tarif tiket yang ditawarkan tentunya juga berbeda. Pada rute Jakarta—Surabaya, tiket AirAsia untuk Februari 2015 yang dibeli satu bulan sebelum keberangkatan adalah sekitar Rp. 382,000, sedangkan Garuda Indonesia sekitar Rp. 696.000.

Jika regulasi ini benar berlaku, AirAsia harus menaikkan tarifnya yang kurang dari batas bawah. Garuda tidak, tarif tiketnya berada di antara batas bawah dan atas.

Konsumen AirAsia pun harus membayar lebih mahal, dari Rp. 382,000 menjadi Rp. 451,180. 

Maka KPPU dan YLKI benar, batas bawah merugikan konsumen. Dampaknya akan signifikan mengingat pasar domestik Indonesia adalah pasar yang sensitif terhadap harga. Jumlah penumpang yang biasa bepergian dengan maskapai berbiaya rendah berpotensi berkurang.

Berdasarkan data tahun 2013, 45.4 juta dari total 75.7 juta penumpang domestik Indonesia adalah penumpang maskapai berbiaya rendah.


--
Penetapan batas bawah suatu barang atau jasa, di atas harga pasar, cenderung menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran — akan ada konsumen yang tidak lagi mampu membeli barang atau jasa tersebut.

Industri penerbangan di Indonesia saat ini sudah mengalami kelebihan kapasitas, disebabkan oleh pertumbuhan penumpang yang menurun.

Berdasarkan data Dirjen Perhubungan Udara, jumlah penumpang domestik hanya tumbuh 7% di 2013, menurun dari tahun 2011 dan 2012 yang tumbuh 16% dan 19%.

Selama ini untuk menyesuaikan kapasitas dan permintaan, strategi utama maskapai adalah fleksibilitas tarif.

Tarif tinggi bisa ditawarkan pada saat permintaan mendekati kapasitas penuh pesawat, sedangkan tarif rendah ditawarkan pada saat permintaan sedikit. Maskapai memiliki insentif untuk menjual tiket dengan sangat murah daripada membiarkan kursi kosong tidak terisi.

Dengan adanya batas tarif, fleksibilitas ini terganggu. Akan berakibat pada menurunnya persentase kursi yang terisi penumpang (load factor), sehingga mengurangi efisiensi penggunaan pesawat.


-- 
Kebijakan batas bawah diklaim akan membantu meningkatkan margin keuntungan sehingga maskapai bisa menjaga keselamatan penerbangan.

Namun maskapai, terutama maskapai berbiaya rendah, justru berpotensi memperoleh pendapatan yang lebih sedikit bila kebijakan ini benar diterapkan.

Regulasi tarif mengganggu kemampuan maskapai untuk menyesuaikan kapasitas kursi dengan permintaan. Konsumen juga dirugikan dengan tarif tiket yang akan meningkat.

Pada akhirnya, regulasi tarif ini hanya akan memberatkan industri penerbangan di Indonesia. []

7:00 PM |