Monday, March 23, 2015|| Kelas Hujan Bulan Juni

Siang itu ada acara peluncuran buku Sapardi Djoko Damono yang berjudul Trilogi Soekram. Juga sekaligus ada kelas apresiasi puisi, kelas Hujan Bulan Juni. Saya datang awal dan mendengarkan dengan seksama.

"Saya sering ditanya, apa yang ingin disampaikan kayu kepada api itu sebenarnya. Saya jawab, ya tidak tahu. Kalau tahu saya tidak menulis sajak itu. 

Ada kayu dibakar. Dalam bayangan saya, api dan kayu itu sedang bercinta. Tapi kayu itu tidak sempat mengucapkan apa-apa dan akhirnya kayu menjadi abu. Ya sudah habis."

Sapardi beberapa kali menyampaikan bahwa sajak atau puisinya bukan untuk dipikir-pikir, tetapi untuk dihayati. Menanyakan apa makna sebenar-benarnya sebuah puisi kepada penyairnya mungkin akan menjadi sia-sia, karena pengertian puisi adalah sepenuhnya milik pembaca.
 
Sapardi Djoko Damono

Dalam buku apresiasi puisinya, Sapardi mengatakan bahwa puisi adalah hasil yang dicapai jika seseorang mampu bermain-main dengan bahasa. Lewat permainan bahasa itulah, ia berbagi segala sesuatu yang ada dalam pikiran dan perasaannya dengan orang lain.

Seperti dalam puisi Hujan Bulan Juni.

"Hujan. Kalau bulan Juni ada hujan, saya tidak menulis ini justru karena bulan Juni itu tidak ada hujan. Dan kebetulan ketika saya mencari puisi saya itu, bulan Juni juga, lho kok ya hujan.  

Saya bayangkan, mungkin hujan itu jatuh karena ada yang sangat mengharapkan. 

Akar pohon mengharap hujan, tapi hujan tidak bisa turun-turun. Maka dia harus tabah. Dia harus arif. Dia harus bijak. Hujan lalu turun dan diserap akar pohon bunga itu. Bagi saya ini adalah kisah cinta yang luar biasa."
 
Dalam buku Hujan Bulan Juni (2013), ada sepuluh dari total keseluruhan seratus dua sajak yang mengandung kata hujan dalam judulnya. Hujan seperti sangat berarti bagi Sapardi — mengingatkan saya pada senja dan Seno.

Sapardi memilih menggunakan kata biasa sehari-hari dalam puisinya. Tidak ruwet, sederhana, dan manusiawi.

Jika penyair adalah manusia yang telah jatuh cinta kepada bahasa, maka Sapardi memilih mencintai bahasa dengan sederhana.

Saya pikir unsur kesederhanaan itu yang membuat karyanya sangat berharga. Menjadi sederhana seperti Sapardi itu sulit. Seandainya saja bisa dengan mudah dipelajari di dalam kelas, mungkin sudah lama ada kelas mencintai dengan sederhana.

Siang itu Sapardi juga berkata bahwa menulis puisi itu membuatnya bahagia.

2:46 AM |